 Aktivitas pekerja perempuan di PT Esun
Aktivitas pekerja perempuan di PT Esun							    Pagi baru saja menyentuh Sekupang, Batam. Di sebuah gang kecil di perumahan sederhana, Nurul Hasanah sudah menunggu jemputan. Seragam kerjanya rapi, hijabnya tersusun rapi di kepala, dan di tangannya, bekal nasi goreng serta telur untuk makan siang nanti di pabrik.

“Kalau terlambat, rasanya kayak berdosa,” katanya sambil tersenyum malu.
Nurul, 25 tahun, bukan sekadar buruh pabrik. Ia adalah tulang punggung keluarga. Dari Medan, Sumatera Utara, ia merantau ke Batam untuk membantu biaya sekolah empat adiknya yang masih duduk di bangku sekolah.
“Yang penting adik-adik bisa terus sekolah. Saya kerja buat mereka,” ucapnya lirih, tapi tegas.
 
Denyut dari Ruang Produksi

Sudah hampir setahun Nurul bekerja di PT Esun, perusahaan industri ekspor yang berdiri sejak 2017 di kawasan perdagangan bebas Batam. Di ruang produksi yang dingin dan bersih, ia bertugas memeriksa hasil olahan bahan baku sebelum dikemas dan dikirim ke luar negeri.
“Awalnya saya takut tak bisa kerja di pabrik. Tapi di sini diajarin dari awal. Semuanya serba tertib dan higienis,” katanya.
Pekerjaan itu memberinya bukan hanya penghasilan, tetapi juga rasa percaya diri. Dari gaji bulanan, Nurul bisa mengirim uang ke orang tuanya dan membiayai adik-adiknya bersekolah.
“Beban orang tua jadi ringan. Saya ingin mereka bisa kuliah, biar hidupnya lebih baik dari saya,” tambahnya.
Denti dan Arti Kemandirian
Tak jauh dari rumah Nurul, di kawasan Marina, Denti Nurhayati memulai hari dengan cara serupa. Ibu dua anak itu bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan sarapan untuk keluarga sebelum berangkat kerja.
“Kerja di Esun itu penyelamat ekonomi kami,” ujarnya.
Suaminya juga buruh pabrik, tapi di tempat berbeda. Penghasilan suami pas-pasan, dan pekerjaan Denti di Esun menjadi penopang penting keluarga.
“Gajinya cukup buat biaya sekolah anak-anak. Bisa bantu suami tanpa harus jauh dari rumah,” katanya.
Denti sudah dua tahun bekerja di sana. Menurutnya, Esun bukan hanya tempat mencari nafkah, tetapi ruang bagi perempuan untuk dihargai. “Kalau anak sakit, tinggal ambil cuti. Tak pernah dipersulit,” ungkapnya.
Ia merasa menjadi bagian dari sistem yang mempercayai kemampuan perempuan. “Kadang saya mikir, perempuan juga bisa jadi tiang ekonomi keluarga,” ucapnya pelan.
Pabrik yang Menjaga Manusia dan Lingkungan
Di balik cerita Nurul dan Denti, berdiri perusahaan yang mencoba menyeimbangkan produktivitas dan tanggung jawab.
Sejak berdiri pada 2017, PT Esun menjadi bagian dari denyut ekonomi Batam. Perusahaan ini mempekerjakan lebih dari 800 karyawan dan menyalurkan lebih dari Rp98 miliar gaji setiap tahun.
Namun bagi manajemen, angka bukan segalanya.
“Kami ingin tumbuh tanpa merusak,” ujar Ardian, manajer senior PT Esun.
Menurutnya, masa depan industri tak cukup diukur dari volume produksi. “Kami pastikan tak ada limbah mencemari tanah. Karena industri yang baik adalah yang peduli pada bumi dan manusia,” katanya.
Filosofi itu diwujudkan dalam cara perusahaan memperlakukan pekerja. Mulai dari fasilitas kesehatan, jam kerja manusiawi, hingga sistem produksi yang bersih. Di banyak pabrik, buruh sering dianggap angka. Tapi di Esun, mereka adalah nadi.
Harapan yang Tumbuh di Tengah Mesin
Bagi Nurul, masa depan berarti melihat adik-adiknya kuliah dan sukses. Ia ingin memutus rantai kerasnya hidup.
“Kalau mereka bisa kerja di kantor, itu sudah cukup buat saya,” ujarnya sambil tersenyum.
Sementara bagi Denti, impiannya sederhana — punya rumah kecil yang nyaman untuk keluarganya.
“Kalau semua kebutuhan terpenuhi, saya bisa kerja dengan tenang,” ucapnya.
Dua perempuan itu menjadi wajah nyata dari industri Batam: tangguh, tekun, dan penuh harapan.
Di antara suara mesin yang tak pernah berhenti, ada napas kehidupan yang mengalir. Esun bukan sekadar pabrik. Ia adalah tempat di mana harapan tumbuh di antara deru produksi, tempat di mana industri dan kemanusiaan bertemu dalam harmoni.
No Comments